Berwibawa, pekerja keras, penuh welas asih, dan berhati lapang, serta selalu belajar menjadi bijaksana. Itulah Bhiksuni Guna Sasana, atau akrab dipanggil Suhu Xue De (baca: Suhu Xie Te).
Bhiksuni Guna Sasana lahir di Jakarta pada 29 September 1947 dengan nama Maitri. Beliau adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. “Maitri” berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya cinta kasih. Sesuai namanya, rupanya sifat cinta kasih memang benar melekat padanya. Itu bisa dilihat bahkan sejak masih anak-anak dan kini makin terlihat jelas setelah menjadi seorang bhiksuni.
Bhiksuni Guna Sasana mengakui dirinya adalah orang yang gampang trenyuh dan tidak bisa berkata tidak jika ada yang membutuhkan bantuan. Secara berseloroh, beliau mengatakan, bahkan untuk makan pun tidak bisa dengan tenang karena ada saja yang perlu dibantu.
Sejak kecil Bhiksuni Guna Sasana sangat mengagumi figur Bodhisattva Avalokitesvara yang penuh welas asih. Beliau juga banyak belajar dari ibunya yang banyak memberinya inspirasi welas asih.
Maitri kecil mengenyam pendidikan di sekolah Katolik dari SD hingga SMA. Ia sangat rajin membantu kegiatan gereja, sehingga Pastor di tempatnya bersekolah sangat mengasihinya. Sampai sampai Pastor memberinya nama Christine, sehingga kemudian namanya berubah menjadi Maitri Christine.
Namun uniknya jodohnya justru dengan agama Buddha. Itu karena kakak sulungnya yang bersekolah di Sekolah Sariputra, di daerah Hayam Wuruk. Setiap hari Minggu, Maitri Christine diajak kakaknya ikut ke Sekolah Minggu di Sekolah Sariputra. Saat itu peran Sekolah Sariputra terlihat menonjol karena di sana terdapat perkumpulan Thian Lie Hwee atau Sam Kauw yang merupakan organisasi pelopor kebangkitan agama Buddha di Indonesia. Namun sayang, Sekolah Sariputra kini telah ditutup.
Sekolah Minggu Sariputra dibimbing oleh Bhikkhu Jinnaputta, yang juga mengajar SMA. Bhikkhu Jinnaputta sangat dikagumi oleh Maitri Christine. Bhikkhu Jinnaputta, selain dikenal disiplin, juga jago kungfu. Pernah suatu ketika sedang diadakan perayaan Waisak Sekolah Minggu, anak-anak gaduh tak karuan. Tiba-tiba, Bhikkhu Jinnaputta menekan jarinya di papan tulis, dan hebatnya papan tulis tersebut melesak ke dalam oleh kekuatan jarinya!
“Papan tulis ini lebih keras mana dibandingkan kepala kalian?” tanya Bhikkhu Jinnaputta. Melihat kejadian bak adegan film silat itu, nyali anak-anak menjadi ciut, hingga akhirnya semua diam mematung seperti anak TK. Maitri Christine makin kagum pada Bhikkhu Jinnaputta. Ia sangat terinspirasi oleh kedisiplinan Bhikkhu Jinnaputta. Dari beliaulah, Maitri Christine belajar tentang disiplin dan cara membedakan sifat baik dan buruk.
Ibu Christine, Sang Madam Police
Kekaguman pada Bhikkhu Jinnaputta tersebut mendorong Maitri Christine bercita-cita menjadi seorang pengajar. Maka, selepas SMA ia melanjutkan pendidikan diploma keguruan di Universitas Atmajaya. Setelah lulus diploma pada tahun 1968, ia sempat mengajar di Sekolah Bhinneka Tunggal Ika, Jakarta Barat, sebelum akhirnya meneruskan mengambil pendidikan sarjana pendidikan jurusan Bimbingan dan Konseling.
Maitri Christine kemudian meneruskan langkahnya sebagai guru di Sekolah Bhinneka Tunggal Ika. Bukan hanya satu mata pelajaran yang ia pegang. Ia mengajar Agama Buddha, Bahasa Inggris, Tata Boga, Bimbingan dan Konseling (BK), hingga jadi wali kelas. Tak tanggung-tanggung, ia mengajar dari TK hingga SMP, bahkan belakangan juga mengajar SMK.
Maitri Christine selalu menanamkan kedisiplinan tinggi kepada para muridnya, seperti yang ia serap dari Bhikkhu Jinnaputta. Ia disegani para murid dan orangtua murid karenanya, bahkan ada yang menganggapnya sebagai guru galak.
Ibu Christine, begitu ia biasa disapa, saat itu cukup populer di kalangan umat Buddha. Selain populer di Sekolah Bhinneka Tunggal Ika, Ibu Christine juga populer di kalangan umat Buddha secara luas karena sering menjadi MC dan pelatih/koordinator kesenian dalam acara-acara hari besar Buddhis di berbagai vihara dan organisasi Buddhis.
“Saya dikenal sebagai guru yang galak, judes, dan tidak ada kompromi bagi anak-anak yang bandel,” kenang Suhu. Karena kegalakannya itu, ia sampai mendapat julukan “Madam Police”.
Salah satu peristiwa yang berkesan baginya adalah ketika pertama kali mengajarkan Paritta. “Pada mulanya mereka bingung, bahkan ada beberapa orangtua murid yang marah karena saya dianggap mempersulit Pelajaran Agama Buddha,” kenang Suhu. Ternyata, banyak yang mengaku beragama Buddha tapi hanya Buddha KTP. Ketika itu memang belum banyak orang yang mengenal Agama Buddha, sehingga tugasnya dalam mengajar Agama Buddha tidaklah mudah.
Kejadian itu dan juga berbagai pergulatan terutama selama mengajar Agama Buddha selama sekitar 20 tahun, membuatnya memutuskan untuk ingin menimba Ajaran Buddha lebih jauh agar menjadi manusia yang lebih baik dan bijak.
Menjadi Sramana
Maka, dengan keyakinan yang kuat pada Buddha Dharma dan tekad yang teguh untuk menapaki jalan Bodhisattva, serta pengetahuan dan pengalaman hidup yang penuh warna, pada Maret 1990, Ibu Christine mengambil suatu keputusan besar dalam hidupnya. Ia meninggalkan hidup keduniawian dan memasuki kehidupan baru sebagai anggota Sangha.
Ia ditahbiskan menjadi sramaneri oleh Y.M. Bhiksu Dharmasagaro Mahasthavira (Suhu Ting Hay) di Vihara Vaipulya Sasana (Kong Hoa Se), Jakarta Barat. Ia mendapat nama Dharma, “Guna Sasana”. “Guna” berarti bermanfaat, berguna; sedangkan “Sasana” berarti Ajaran.
Ibu Christine menyadari bahwa dirinya adalah guru galak, sehingga ketika upacara pentahbisan tersebut ia menyangka murid-muridnya pasti tidak ada yang datang. Sebaliknya, mereka malah mungkin girang karena sebentar lagi tidak ada lagi Ibu Christine, seorang guru yang streng, galak, disiplin, dan ketus.
Kenyataan justru sebaliknya, banyak sekali murid yang hadir dan begitu merasa kehilangan, bahkan sampai ada yang pingsan. “Saya baru menyadari bahwa sebenarnya mereka pun sangat menyayangi saya, seperti saya menyayangi mereka. Padahal dalam kehidupan di sekolah, mereka sepertinya benci kepada saya,” ujar Suhu.
Tidak lama setelah penahbisan, Sramaneri Guna Sasana berangkat ke Vihara Fo Guang Shan di Kaohsiung, Taiwan. Beliau tinggal di sana selama sekitar 10 bulan, dan pada awal tahun 1991 akhirnya di-upasampanna menjadi bhiksuni.
Sekembalinya dari Taiwan, Bhiksuni Guna Sasana berturut-turut tinggal di Vihara Vaipulya Sasana dan Vihara Vajrabodhi Bogor. Pada tahun 1992 beliau menempati sebuah caitya sederhana di Jalan Taman Sari Raya 78, Jakarta Barat. Di tempat ini beliau menyelenggarakan kebaktian muda-mudi yang dikenal dengan nama Pemuda Buddhis Syailendra Putra.
Selain mengurus caitya, Bhiksuni Guna Sasana juga kembali mengajar Agama Buddha di sebuah sekolah di daerah Duta Harapan Indah, Jakarta Utara. Selama delapan bulan mengajar di situ, beliau tak segan-segan naik metromini bolak-balik dari sekolah ke Taman Sari. Pernah suatu ketika, selepas mengajar, murid-muridnya patungan untuk ongkos naik bajaj dirinya pulang ke Taman Sari.
Beliau juga sempat menjabat sebagai pimpinan Sekolah Sinar Dharma selama empat tahun. Dan terakhir menjadi guru BP di Sekolah Dhammasavana.
Kini banyak muridnya yang telah meraih kesuksesan. Banyak dari mereka yang merasa bersyukur pernah merasakan kedisiplinan Ibu Christine. Bahkan kini banyak diantara mereka yang setia mengikutinya menjadi umat dan aktif membantunya, ataupun berdana untuk kepentingan Dharma. Salah satunya adalah Andy Tjandra yang kini menjadi ketua Yayasan Buddha Guna yang berada di bawah binaan Bhiksuni Guna Sasana.
Kedisiplinan yang selama ini beliau terapkan ternyata begitu bermanfaat ketika masuk dalam kehidupan Sangha. “Semua disiplin yang saya terapkan untuk diri sendiri dan para murid di sekolah menjadi pondasi mental untuk kehidupan sekarang ini,” jelas Suhu.
Menebar Welas Asih, Menolong Sesama
Pemuda Buddhis Syailendra Putra yang dibimbing oleh Bhiksuni Guna Sasana terus berkembang. Ini mendorong Bapak Siwie Honoris dan Bapak Mediarto Prawiro untuk menyediakan fasilitas yang mendukung. Bapak Mediarto Prawiro kemudian meminjamkan tempat yang lebih luas untuk menampung kegiatan mereka. Maka, pada tahun 1995 Pemuda Buddhis Syailendra Putra pindah ke sebuah ruko dua lantai di Jalan Krekot Raya, Jakarta Pusat.
Ketika tinggal di ruko ini, Bhiksuni Guna Sasana mengalami peristiwa memilukan kerusuhan Mei 1998. Rukonya tak luput dari amuk massa. Saat itu beliau sedang berada di ruko. Beruntung ada tetangga yang menolongnya melalui pintu samping. Beliau lompat dari lantai dua. Orang-orang di bawah menaruh sofa untuk tempatnya mendarat. Ketika sedang bingung harus pergi ke mana, tiba-tiba ada bajaj lewat yang menawarinya bantuan agar terhindar dari amuk massa. Dengan sembunyi-sembunyi Bhiksuni Guna Sasana akhirnya mengungsi ke rumah salah satu umat di daerah Kartini, tidak jauh dari ruko tempat beliau tinggal.
Ruko mengalami kerusakan parah, tidak bisa digunakan lagi. Bhiksuni Guna Sasana bersama Bapak Johan Rohani kemudian mencari tempat baru. Beliau memutuskan membeli sebuah ruko dua lantai di Jalan Tiang Bendera I No. 65, Jakarta Barat. Ruko tersebut kemudian dipugar menjadi sebuah caitya yang diberi nama Caitya Dharma Graha. Caitya ini diresmikan penggunaannya oleh Direktur Urusan Agama Buddha Departemen Agama Republik Indonesia yang saat itu dijabat oleh Bapak Kol. Pol. Drs. Budi Setiawan, M.Sc. pada tanggal 4 Oktober 1998. Di sinilah Bhiksuni Guna Sasana tinggal hingga saat ini.
Peristiwa Mei 1998 menggoreskan kenangan sangat pahit bagi bangsa Indonesia, tak terkecuali bagi Bhiksuni Guna Sasana. Keprihatinan yang ditimbulkannya memanggil Bhiksuni Guna Sasana bersama para rohaniwan dan umat Buddha lainnya menjadi tangan-tangan Bodhisattva untuk turun langsung menjadi relawan menolong para korban peristiwa kelam ini.
Beliau bergabung menjadi relawan lintas agama untuk mengatasi trauma korban kerusuhan. Selain beliau, bergabung juga Ayya Santini, Alm. Bapak Anton Haliman, dan Bapak Siwie Honoris. Para relawan ini mengunjungi berbagai rumah sakit melakukan pendampingan, membantu biaya perbaikan rumah, hingga mencari anak-anak yang hilang.
Dari situlah Bhiksuni Guna Sasana mendapati ternyata banyak anak-anak yang menjadi korban. Kondisi mereka sangat menyedihkan, mereka kehilangan orangtua, kehilangan keluarga, terlantar, kehilangan masa depan. Kepada siapa tunas-tunas bangsa ini harus menyandarkan hidup?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut sangat mengusik kalbu Bhiksuni Guna Sasana sehingga makin mendorongnya untuk membuat sebuah Rumah Kasih Sayang. Sebelum terjadi kerusuhan, beliau memang punya keinginan untuk mendirikan sebuah panti asuhan.
Setahun sebelumnya, tepatnya pada bulan Maret 1997, ketika Bhiksuni Guna Sasana melakukan perjalanan Dharma ke Malaysia untuk bertemu dengan Master Hsing Yun –pendiri Vihara Fo Guang Shan, beliau sempat melontarkan ide untuk mendirikan panti asuhan kepada dermawan dan umat yang ikut dalam rombongan. Ide itu dilontarkan ketika Bhiksuni Guna Sasana bercakap-cakap dengan Bapak Eddie Mulianto dan Ibu Henny Honoris. Bhiksuni Guna Sasana ditanya tentang cita-citanya.
Sejak masih menjadi guru, Bhiksuni Guna Sasana merasa gundah melihat murid-murid sekolah berasal dari keluarga berkecukupan tetapi enggan sekolah, sebaliknya banyak murid yang berprestasi dan ingin belajar tetapi terpaksa harus putus sekolah karena tidak ada biaya.
Percakapan ini ternyata menjadi pembuka jalan bagi Bhiksuni Guna Sasana untuk merealisasikan cita-citanya. Sepulangnya ke Jakarta, diadakan pembicaraan lanjutan dengan beberapa umat dan dermawan. Sebagai hasilnya, Bapak Siwie Honoris dan keluarga menghibahkan sebidang tanah seluas 2000 meter persegi yang terletak di daerah Cakung, Jakarta Timur kepada Bhiksuni Guna Sasana. Di sinilah kemudian dibangun Lembaga Penyantun Anak (LPA) Guna Nanda, yang merupakan panti asuhan Buddhis pertama di Indonesia.
Inilah langkah pertama Bhiksuni Guna Sasana menerjemahkan maitri karuna (welas asih) ke dalam kehidupan nyata di masyarakat.
“Saya hanya meneruskan apa yang sudah ada dalam batin saya, yaitu mudah trenyuh melihat penderitaan orang lain sejak kecil. Sampai menjadi guru pun saya selalu berusaha agar murid-murid saya yang kurang mampu dapat terus sekolah dengan penuh kasih, saya carikan mereka jalan keluar,” tutur Bhiksuni Guna Sasana merendah. Sewaktu masih menjadi guru, beberapa kali beliau merelakan gajinya untuk menalangi tunggakan uang sekolah muridnya.
Berdirinya LPA Guna Nanda adalah bagian kecil dari suatu rencana besar yang ada dalam benak Bhiksuni Guna Sasana. Beliau ingin membangun sekolah untuk anak-anak asuh sekaligus untuk umum, untuk menyiapkan generasi penerus dalam Sangha atau umat. Mendidik anak-anak agar bisa mandiri dan memberi kontribusi kepada masyarakat Buddhis khususnya dan masyarakat pada umumnya, serta membangun klinik kesehatan untuk masyarakat kurang mampu.
Berdirinya LPA Guna Nanda juga makin mempertebal sifat welas asihnya. Beliau harus membagi rata semua anak mendapatkan welas asih darinya, bahkan kadang tidak mengenal waktu. Misalnya ketika ada salah satu anak LPA Guna Nanda harus operasi di rumah sakit dan sempat kritis, Bhiksuni Guna Sasana menunggui dengan penuh kesabaran hingga larut malam, seperti layaknya seorang ibu menunggui anaknya.
Bukan hanya pada anak LPA Guna Nanda, Bhiksuni Guna Sasana juga sangat sering melewati tengah malam di rumah sakit menunggui umat yang sakit, terutama yang sedang kritis. Beliau tidak mengenal waktu. Tidak bisa berkata tidak jika melihat orang yang menderita.
Selain mendirikan Caitya Dharma Graha yang kini menjadi Vihara Guna Dharma dan LPA Guna Nanda, Bhiksuni Guna Sasana juga mendirikan Samatha Meditation Center di Cipanas, Vihara Dharmasagara Guna Grha di Jakarta Utara, dan Wisma Kasih Lansia Bina Sejahtera di Cipanas.
Dengan banyaknya hal yang harus diurus, belum lagi harus melayani permintaan ceramah, pembacaan doa orang sakit, hingga pembacaan doa orang meninggal dunia; sebagai penempuh jalan sramana, masihkah ada waktu bagi Bhiksuni Guna Sasana untuk melatih diri?
“Hidup saya sehari-hari lebih banyak di mobil,” tuturnya, “saya sempatkan waktu subuh untuk puja bakti dan meditasi. Diantara kemacetan lalu lintas itulah saya pergunakan waktu melanjutkan meditasi, melafal, tidur, dan makan.” Beliau berseloroh, hidupnya dihabiskan dari rumah sakit ke rumah sakit, atau dari rumah duka ke rumah duka.
Namun kini usia yang makin bertambah membuatnya mulai mengurangi kepadatan aktivitas. Beliau kini banyak dibantu oleh para murid Dharma, serta para pengurus dan umat yang sejak dulu setia mendampingi.
Bhiksuni Guna Sasana menyebut pilihan hidupnya menjadi bhiksuni jauh lebih membuatnya bahagia. Sebelum menjadi bhiksuni, beliau merasa penderitaan selalu mendatanginya dan tak mampu memecahkannya dengan baik dan tuntas. Setelah menjadi bhiksuni, beliau menjadi lebih tenang dalam memecahkan masalah dan merasa bahagia hidup dengan membantu orang lain.
Bhiksuni Guna Sasana juga sering menjadi tempat konsultasi bagi umat yang sedang menghadapi masalah. Menurutnya, masalah utama manusia modern saat ini selain lobha, dosa dan moha, adalah semua mau serba instan, emosional, dan tidak dapat menerima kenyataan hidup, lebih egois.
Beliau berpesan, cara mengatasinya adalah dengan mempelajari Buddha Dharma lebih banyak dengan cara
(1) tingkatkan kesadaran,
(2) perbanyak kesabaran,
(3) dapat menerima kenyataan,
(4) kurangi lobha dosa moha, dan
(5) mempertinggi spiritual dengan banyak bermeditasi.